Selasa, 21 Oktober 2014
TUGAS MANAJEMEN PERBANKAN
Tugas
MANAJEMEN PERBANKAN
tentang
MANAJEMEN RESIKO
Oleh :
NAMA : NURSIDAR. A
NIM : 116601042
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ENAM-ENAM KENDARI
(STIE-66)
KENDARI
2014
A. RESIKO KREDIT (DEFAULD RISK)
Resiko kredit merupakan bentuk resiko pembayaran yang muncul pada satu pihak bersepakat untuk membayar sejumlah uang (misalnya, dalam akad salam dan istishma) atau mengirimkan barang (misalanya, dalam akad murabahah) sebelum menerima aset atau uang cash-nya sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya kerugian.
• Dalam kasusnya resiko kredit bank syariah yaitu :
Tidak terbayarnya kembali bagian bank oleh pihak pengusaha ketika jatuh tempo, masalah ini muncul karena adanya kesenjangan informasi (assimatric informasi ) dimana mereka tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang profit perusahaan yang sesungguhnya. Sementara akad murabahah merupakanan akad jual beli atau perdagangan, dimana risiko kredit dapat muncul dari risiko pihak ketiga (counterparty risk), yaitu akibat buruknya kinerja partner bisnis.
B. RESIKO PASAR (MARKET RISK)
Risiko Pasar (Market Risk) adalah risiko kerugian pada naik turunnya posisi neraca yang muncul akibat pergerakan di pasar modal. Market risk merupakan risiko gabungan yang terbentuk akibat perubahan suku bunga, perubahan nilai tukar serta hal-hal lain yang menentukan harga pasar saham, maupun ekuitas dan komoditas.
Risiko Pasar atau dikenal juga dengan risiko harga, terkait dengan instrumen yang diperdagangkan pada berbagai pasar keuangan. Value at Risk atau VaR merupakan ukuran risiko pasar guna memastikan agar Bank memiliki modal yang dapat memenuhi ketentuan minimum CAR yang ditentukan oleh Bank Indonesia. VaR adalah perkiraan potensi kerugian maksimum akibat risiko harga, dengan interval kepercayaan 99%. Artinya, dalam 99% kejadian, potensi kerugian maksimum lebih kecil dari jumlah tersebut. Bank menerapkan pembatasan berbasis VaR dalam mengelola keseluruhan
risiko eksposur.
Risiko pasar diawasi dan diukur setiap hari berdasarkan model-model harga yang telah dibentuk sedangkan posisi perdagangan dan investasi disesuaikan dengan harga pasar setiap hari. Grup manajemen risiko Bank mempertahankan pendekatan yang konservatif dengan memastikan bahwa semua posisi berada dalam batasan selera dan toleransi risiko yang ditetapkan. Kebijakan risiko pasar dievaluasi dan diperbaharui setiap bulan agar memenuhi persyaratan Bank Indonesia dan Basel II. Bank menelaah lebih lanjut risiko pasar melalui penerapan secara teratur skenario kondisi buruk yang mungkin terjadi (stress test), yang bisa menyebabkan perubahan drastis harga aset atau instrumen yang dimiliki atau diperdagangkan. Stress test khusus tersebut melengkapi penilaian VaR.
Studi kasus bank mandiri
Pada kasus Bank Mandiri, terdapat beberapa potensi kerugian yang akan diderita Bank Mandiri. Yang pertama adalah kerugian finansial dalam jumlah yang sangat besar (720 juta rupiah) serta resiko hilangnya reputasi yang dapat mengancam keberlangsungan perusahaan ke depannya. Tidak dapat dipungkiri, akibat adanya pencairan ilegal akan mampu menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat (social distrust) dari para nasabah terhadap sistem manajemen dan sekuritas finansial bank tersebut. Resiko finansial dapat berujung pada resiko likuiditas, yakni resiko yang mengakibatkan suatu perbankan mengalami kegagalan untuk membayar hutang jangka pendeknya. Masalah ini apabila terus dibiarkan tanpa ditangani lebih lanjut juga akan membawa perbankan pada resiko kegagalan bank dalam membayar hutang jangka panjangnya (solvabilitas).
C. RESIKO LIKUIDITAS (LIQUIDITY RISK)
Resiko likuiditas adalah resiko bank akibat ketidak mampuan bank memenuhi kewajiban bank yang telah jatuh tempo dari pendanaan arus kas dan atau aset yang likuid tanpa menggangu aktivas bank sehari hari.
Resiko BANK SYARIAH dalam aspek likuiditasnya adalah adanya batasan fiqih terhadap sekuritisasi aset yang ada dari bank syariah, dimana aset tersebut didominasi oleh pembiayaan , hal ini mengakibatkan aset bank syariah tidak lebih likuid bila dibandingkan bank konfesional. Bank syariah kurang dapat memperoleh dana secara cepat dari pasar karena lambatnya permkembangan instrumen keuangan syariah.
• Dalam studi kasus bank syariah & centuri yaitu:
Dalam studi kasusnya bank syariah seringkali memengang idle cash dalam jumlah karena tidak dapat menginvestasikannya pada penempatan atau surat berharga yang menghasilkan bungga. Lebih lanjut ditemukan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan.
Kasus bailout berawal dari masalah kesulitan likuiditas dan modal Bank Century. Untuk mengatasi masalah keuangan itu, pada tanggal 15 Oktober 2008, bank central sebenarnya telah memerintahkan tiga pemegang saham mayoritas bank ini, yakni Robert Tantular, Rafat Ali Rizfi, dan Hesyam Al Waraq menandatangani letter of commitment yang isinya memuat janji ketiganya untuk membayar surat berharga yang jatuh tempo dan menambah modal bank. Selain itu, mereka juga berjanji mencari investor baru untuk menyelesaikan permasalahan bank paling lambat 31 Maret 2009. Namun, mereka tidak menepati janjinya sehingga Bank Century tidak bisa memenuhi kewajibannya pada nasabah. Melihat kenyataan demikian, BI akhirnya memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek pada bank ini sebesar Rp502 miliar pada 14 November 2008. Seiring dengan itu, BI juga kembali memerintahkan Robert, Hesyam dan Rafat menepati komitmennya yang dituangkan kemudian dalam letter of commitment pada 16 November 2008. Surat itu antara lain berisi komitmen untuk memindahkan surat berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia, mengembalikan hasil pembayaran surat berharga yang jatuh tempo dan tidak akan menjaminkan surat berharga ke pihak lain. Tapi, letter of commitment ini juga tidak ditepati. BI pun kembali mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp187 miliar pada 18 November 2008.
Lantaran kondisi Bank Century makin memburuk, pada 21 November 2008 penanganan bank itu pun akhirnya diserahkan pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pada saat itu juga, LPS menyuntikkan dana Rp2,77 triliun agar kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century 10 persen. Kemudian pada 5 Desember 2008, LPS kembali menyuntikkan dana Rp2,20 triliun untuk memenuhi tingkat kesehatan bank. Ketiga, pada 3 Februari 2009 LPS memberi lagi dana sebesar Rp1,15 triliun. Dan keempat, pada 21 Juli 2009 LPS kembali menyuntikkan dana sebesar Rp630 miliar. Jadi, total LPS telah menyuntikkan dana Rp6,7 triliun kepada Bank Century setelah pengelolaan bank tersebut diambil alih. Alasan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Menkeu, BI, dan LPS melakukan penyertaan modal sementara di bank ini melalui LPS, selain mengganti manajemen bank, karena BI menilai kondisi yang dialami Bank Century saat itu bisa berdampak sistemik yang bisa menimbulkan penyebaran masalah ke bank lainnya. DPR meminta BPK melakukan audit investigasi atas penyertaan modal pemerintah melalui LPS ke Bank Century yang membengkak menjadi Rp6,7 triliun. Mulai dari proses merger tiga bank menjadi Bank Century, tidak tegasnya BI terhadap pelanggaran Bank Century selama tahun 2005-2008, hingga pengucuran dana bailout. Sesuai hasil audit BPK yang diserahkan ke DPR tertanggal 23 Nov 2009 menunjukkan adanya paling tidak lima bagian dugaan pelanggaran di dalam kasus Bank Century yang dilakukan oleh pemilik lama, BI, hingga KKSK. Selain itu munculnya risiko sistemik dari sisi fiskal akibat kebijakan pengetatan fiskal atau perlambatan pengeluaran atau belanja pemerintah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Langkah kebijakan inilah yang justru telah menciptakan risiko sistemik pada perbankan nasional.
D. RESIKO OPERASIONAL
Resiko operasional adalah resiko dimana bank tidak dapat bekerja secara efisien, ekonomis, efektif, aman , lancar dan tertib. Jika hal ini terjadi akan menimbulkan biaya tinggi ataw operasioanal bank bahkan dapat menimbulkan kerugian. Resiko operasional bisa muncul terutama akibat bank tidak memiliki personel (dengan kapasitas dan kapabilitas) yang memadai untuk menjalankan operasional keuangan syariah.
Risiko operasional ini dapat terjadi karena tidak berfungsi atau kurang efektifnya proses internal. Penyimpangan demikian dapat terjadi karena kesalahan manusia, kegagalan sistem atau karena faktor eksternal yang memengaruhi perusahaan.
Oleh karena itu, risiko operasional ini bersumber dari pekerja, teknologi, customer relationship, atau faktor eksternal.
• Studi kasus Bank BNI
Kasus yang terjadi pada BNI tersebut merupakan kasus yang termasuk dalam kriminal dan penipuan (crime and fraud risk). Dengan demikian risiko yang terjadi adalah risiko karena adanya kejahatan kerah putih (white collar crime). Artinya, kejahatan tersebut lebih dikarenakan ketamakan dari watak manusia. Karena ini merupakan murni kejahatan karena perilaku, seharusnya ada indikator-indikator awal sudah harus bisa dideteksi. Peringatan dini akan efektif kalau sistem pengendalian risiko pada bank yang bersangkutan berjalan baik.
Peringatan dini ini dapat dilakukan dengan melihat apakah mekanisme dan prosedur yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan. Sementara dari aspek eksternal verifikasi terhadap material prosedur juga harus dilakukan.
Dalam kasus pembobolan L/C tersebut, semestinya kejanggalan-kejanggalan awal sudah bisa dideteksi kalau niat menipu dari mereka yang terkait dalam kasus ini memang tidak ada. Dimulai dari bank penerbit L/C, yang adalah bukan bank koresponden. Semestinya pejabat BNI setempat mengetahui bahwa perlu jaminan yang lebih jelas; siapa penjamin L/C tersebut, untuk membayar L/C jika bank penerbit L/C bukan bank koresponden. Apakah dalam hal ini bank BNI tidak mengetahui tidak adanya jaminan atas L/C yang diterbitkan tersebut. Apakah bank BNI juga melakukan verifikasi atas dokumen ekspor dari eksportir dengan benar. Apakah dokumen-dokumen ekspor tersebut relevan dan valid. Jika ternyata dokumen tersebut nantinya ternyata dokumen ekspor palsu, semestinya pihak bank mengetahuinya.
E. Resiko hukum
Risiko Hukum adalah risiko yang timbul dari potensi terjadinya pelanggaran kontrak, kasus pengadilan atau kebijakan yang salah yang dapat menyebabkan pengaruh negative terhadap kondisi keuangan maupun operasional bank.
Kasus citibank
Citibank AS, uang ditransfer ke citibank cayman islam dan dilarikan ke citibank swiss, ironisnya, setelah rezim presiden carlos santana tumbang, mereka dihukum atas, tuduhan kejahatan narkoba, bukan pencucian uang. Sementara petinggi citibank AS yang menangani menangani kasus tersebut dihukum 10 tahun dengan tuduhan terlibat pencucian uang.
Kasus L/C BNI dan Kepercayaan terhadap Perbankan
Sebelum masa buram perbankan Indonesia berakhir saat ini, dunia perbankan Indonesia kembali digegerkan oleh kasus pembobolan melalui penerbitan surat kredit (letter of credit) atau L/C fiktif senilai Rp 1,7 triliun di bank BNI. Sayangnya, pembobolan itu terjadi pada bank besar yang selama ini dianggap sebagai salah satu barometer dan sekaligus bank terbesar kedua di Indonesia. Beruntung kasus tersebut segera mendapat penanganan serius dari penegak hukum. Sebab, apabila tidak demikian, pasti kasus itu akan menciptakan ketidakpercayaan baru terhadap dunia perbankan. Kita berharap penanganan hukum kasus ini berjalan dengan lancar, tidak sebagaimana kasus-kasus perbankan sebelumnya. Tentunya kita masih belum lupa, ketika kasus Bappindo akhirnya tidak jelas penanganannya hanya karena melibatkan petinggi negara. Kasus L/C fiktif BNI inipun belakangan ini disebut-sebut melibatkan capres dari salah satu partai besar di negeri ini. Semoga; apabila isu tersebut benar, tidak menjadi penghalang untuk menyingkap penyelewengan di BNI tersebut.
F. RESIKO REPUTASI
Risiko reputasi (reputation risk) adalah risiko yang, antara lain, disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Risiko reputasi timbul dari pendapat negatif yang terbentuk di masyarakat, yang biasanya akan memaksa bank berhadapan dengan masalah litigasi, turunnya jumlah nasabah, yang akhirnya akan berujung pada kerugian secara finansial
Risiko reputasi ini bisa muncul mendadak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Lebih jauh, dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan secara empiris, ternyata risiko reputasi memiliki korelasi positif dengan isu negatif yang beredar di masyarakat. Masih ingat kasus rush yang menimpa beberapa bank besar ketika krisis menghantam kita pada 1998, yang akhirnya berujung pada hancurnya likuiditas bank-bank pada waktu itu.
• Dalam Studi Kasusnya BANK CENTURI & BNI
Terkait dengan kasus Bank Century, risiko yang layak diamati dengan cermat adalah risiko reputasi. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholders) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap suatu bank. Risiko tersebut muncul antara lain karena adanya pemberitaan dan atau rumor mengenai bank yang bersifat negatif serta strategi komunikasi bank yang kurang efektif. Kalau pembeberan kasus Bank Century ini berlangsung lama tanpa memperhatikan kehati-hatian, maka sangat mungkin Bank Mutiara akan kian menderita risiko reputasi. Karena kian lama berarti akan kian lama pula warta negatif akan menusuk Bank ini.
Contoh lain bank BNI , kasus raibnya Rp1.7 triliun letter of credit (L/C) Bank Negara Indonesia (BNI) yang sampai hari ini tidak sepeser pun bisa dikembalikan. Untung saja, blanket guarantee belum dihentikan. Kalau tidak, mungkin sudah banyak nasabah yang memindahkan uangnya ke bank lain.
sangat mungkin, reputasi BNI sebagai bank yang aman pun telah mengalami gerusan-gerusan yang juga bisa berakibat lunturnya kepercayaan masyarakat. Lunturnya reputasi ini tentu tidak gampang dibangun kembali. Itu seperti kata peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” atau “sekali lancung dalam ujian, seumur hidup orang tidak percaya”. Bukan apa-apa. Butuh waktu yang lama bagi kita semua untuk melupakan kasus L/C fiktif BNI tersebut.
Reputasi bank bisa diartikan sebagai suatu bangunan sosial yang mengayomi suatu hubungan kepercayaan, yang akhirnya akan menciptakan brand image bagi suatu bank. Reputasi yang baik dan tepercaya tentu merupakan sumber keunggulan bersaing bagi suatu bank. Tentu, perlu waktu yang tidak sedikit untuk membangun reputasi. Dan, tidak ada bank yang bisa membeli reputasi. Celakanya, reputasi bisa lenyap seketika dengan mudahnya. Inilah biang kerok bernama risiko reputasi yang sangat penting diwaspadai semua bank.
G. RESIKO STRATEGIK (STRATEGIK RISK)
Risiko Strategik (Strategic Risk) adalah risiko yang disebabkan karena adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang pedulinya bank terhadap perubahan yang terjadi.
Studi kasus BI
Lehman Brothers per . menjadi bank investasi terbesar ke-empat di AS. Perusahaan yang bermarkas diNew Yorkitu didirikan pada 1850di Montgomery,Alabama. Jadi, mempunyai usai lebih dari 158 tahun. Pada akhir 2007, Lehman mempekerjakan 28.500 karyawan. Tapi, karena. krisis finansial dan ekonomi, jumlah karyawan dikurangi 1.500 orang. Sebelum pailit, mereka memiliki sekitar 27.000 karyawan. Pada akhir Agustus tahun 2008 lalu, Perusahaan itu mengalami kerugian sebesar USD 3,9 miliar (sekitar Rp 36,6 triliun dengan kurs Rp 9.400 per USD), menyusul kerugian USD 2,8 miliar (sekitar Rp 26,32 triliun) yang terjadi pada triwulan II 2008 yang lalu. Kerugian ini akibat krisis subprime mortgage di AS, dimana mereka terpaksa menghapusbukukan kredit macet USD 13,8 miliar (sekitar Rp 129,7 triliun). Strategi membesarkan aset dengan terlalu banyak konsentrasi dalam portofolio subprime mortgage ternyata menimbulkan kerugian yang sulit untuk ditanggulangi bank. Bank investasi terbesar keempat di AS sekaligus salah satu p – erusahaan finansial ternama di dunia, Lehman Brothers, menyatakan pailit atau bangkrut tanggal15 September 2008.
H. Resiko kepatuhan (Compliance Risk)
Risiko kepatuhan merupakan risiko yang berdampak terhadap pendapatan dan modal akibat adanya pelanggaran terhadap hukum regulasi atau standar etik. Risiko kepatuhan dapat mengarahkan institusi kepada denda, hukuman uang sipil, pembayaran kerugian/ kerusakan, dan pembatalan kontrak. Risiko kepatuhan juga dapat menyebabkan reputasi berkurang, nilai waralaba (franchise) berkurang, peluang usaha terbatas, potensi ekspansi berkurang, dan ketidakmampuan untuk menjalankan kontrak.
Risiko kepatuhan ini muncul akibat adanya potensi penyimpangan dari kepatuhan terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Kaji ulang dilakukan oleh Bank dalam hal peluncuran produk baru, penyaluran pembiayaan dengan limit tertentu yang disesuaikan juga dengan prinsip syariah. Sementara terhadap penerapan program APU dan PPT Bank juga telah melakukan monitoring transaksi yang mencurigakan atau aktivitasi di luar kebiasaan.Bank saat ini telah memiliki kebijakan mengenai pengelolaan Risiko Kepatuhan, yaitu :
• Kebijakan Kepatuhan
• Pedoman Penerapan Program APU dan PPT
• Manual Good Corporate Governance
Untuk lebih meningkatkan pengetahuan mengenai ketentuan yang berlaku, maka Bank telah melakukan beberapa sosialisasi kepada seluruh karyawan mengenai :
• Peraturan Bank Indonesia dan dan Peraturan Perundangan Terkait lainnya
• Penerapan Program APU dan PPT
• Pengelompokkan nasabah berdasarkan Risk Based Approach (RBA)
• Pengkinian data nasabah
• Pewajiban pelaporan kepada pihak eksternal
• Database Teroris yang diterima dari PBB setiap 6 bualn sekali
• Prinsip dasar Perbankan syariah
Kasus citibank
Citibank kalah di Pengadilan Dua bank acing menelan kekalahan yang sama dalam sengketa transaksi
derivatif di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Pengadilan menyatakan Citibank NA dan The Hong Kong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) telah melawan hukum dalam perjanjian transaksi derivatif dengan nasabahnya. Hakim PN Jakarta Selatan menyatakan perjanjian transaksi derivatif Citibank dengan sang nasabah, PT Permata Hijau. Sawit tidak sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/6/PBI/ 2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank. Citibank bersalah karena tidak menjelaskan secara terperinci produk perbankannya. Citibank cuma menjelaskan produk callable forward ke Permata Hijau dalam bahasa I.nggris. “Istilahnya membingungkan,” kata Ketua Majelis Hakim, Artha Theresia, Artha juga menilai, Citibank membuat peraturan yang tidak berimbang. Yakni hanya Citibank saja yang bisa membatalkan perjanjian secara sepihak. Alhasil, “Perjanjian callable forward batal demi hukum,” ucapnya. Hakim memerintahkan kedua pihak untuk mengembalikan uang dari transaksi yang telah terjadi. Citibank harus mengembalikan uang US$ 10 juts ke Permata Hijau, termasuk membuka lagi rekening milik perusahaan sawit ini sebesarUS$ 545.000. Sebaliknya, Permata Hijau juga harus mengembalikan uang Rp’ 97,2 miliar ke Citibank. Bukan hanya itu, Citibank harus meminta koreksi ke BankIndonesiabahwa Permata Hijau bukan debitur bermasalah di Sistem. Informasi Debitur (SID).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
remember me: HARVAT
remember me: HARVAT :
-
PENGERTIAN PAJAK Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat bala...
-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manajemen strategi sangat penting bagi suksesnya suatu perusahaan karena akan menyeh...
-
Tugas manajemen resiko Nursidar.a 116601042 SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ENAM-ENAM KENDARI STIE-66 KENDARI 2011 MANAJE...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar